Jumat, 30 Agustus 2013

Dosa merupakan sesuatu yang “menggangu” pikiran dan batin setiap manusia. Hal yang menyebabkan adalah karena pertanggung jawabannya tidak hanya di dunia ini melainkan juga diakhirat kelak.
Dosa adalah sesuatu yang akan dipertanggung jawabkan oleh pelakunya. Sekiranya pun para nabi melakukan perbuatan dosa maka ia akan menanggungnya sendiri. demikian pula jika umat melakukan dosa maka seorang utusan Tuhan tidak akan menanggung dosa umatnya.

Taurat, Injil dan juga Alquran. Tiga kitab ini mengajarkan bahwa setiap orang yang berdosa tidak akan dapat mewariskannya pada orang lain.
Taurat mengajarkan : “Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri.” (Matius)
Injil Mengajarkan : “Sebab tiap-tiap orang akan memikul bebannya sendiri.” (Galatia)
Bahkan Yesus sendiri datang adalah untuk membalas setiap orang berdasarkan perbuatannya. :
“Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.” (Matius 16 : 27)
Dan Alquran mengajarkan : “…dan tidaklah seorang melakukan dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain…” (Al-Anam : 164).
Ada beberapa cara Tuhan mengampuni dosa hamba-Nya.
Pertama adalah Tuhan mengampuni karena kemurahan-Nya.
“Aku, Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku tidak mengingat-ingat dosamu.” (Yesaya)
Kedua, manusia diampuni dosanya karena berbakti pada Tuhan
“Demikianlah hendaknya mereka itu melakukan kebaktian kepadaku, suapaya dalamnya jangan mereka menanggung dosa dan mati sebab dihinakan akan dia. Bahwa Akulah Tuhan yang mensucikan mereka itu.”
Ketiga, Dengan Bertobat Tuhan akan mengampuni dosa hamba-Nya.
“Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosamu dihapuskan.” (kisah Rasul-Rasul)
Keempat, Tuhan akan mengampuni dosa kita apabila kita mengampuni dosa orang lain terhadap yang telah dilakukannya kepada diri kita.
“Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga.” (Matius)
Semoga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang selalu bertobat dan memaafkan kesalahan orang lain sehingga dengan Kasih-Nya Tuhan mengampuni segala dosa-dosa kita semua….Amin !!
Posted by Unknown On 10.04 No comments READ FULL POST

Kamis, 29 Agustus 2013

Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan masyru’ (disyari'atkan). Pendapat yang menyatakan bid’ah atau haditsnya lemah, merupakan pendapat bathil. Imam Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad menyatakan istihbab pelaksanaannya.

Adapun Imam Malik, beliau rahimahullah menilainya makruh. Agar, orang tidak memandangnya wajib. Lantaran kedekatan jaraknya dengan Ramadhan. Namun, alasan ini sangat lemah, bertentangan dengan Sunnah shahihah.

Alasan yang diketengahan ini tidak tepat, jika dihadapkan pada pengkajian dan penelitian dalil, yang akan menyimpulkan pendapat tersebut lemah. Alasan terbaik untuk mendudukkan yang menjadi penyebab sehingga beliau berpendapat demikian, yaitu apa yang dikatakan oleh Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr, seorang ulama yang tergolong muhaqqiq (peneliti) dalam madzhab Malikiyah dan pensyarah kitab Muwatha.

Abu ‘Amr Ibnu ‘Abdil Barr berkata,"Sesungguhnya hadits ini belum sampai kepada Malik. Andai telah sampai, niscaya beliau akan berpendapat dengannya.” Beliau mengatakan dalam Iqna’, disunnahkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, meskipun dilaksanakan dengan terpisah-pisah. Keutamaan tidak akan tetap diraih bila berpuasa di selain bulan Syawal.

Seseorang yang berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah berpuasa Ramadhan, seolah-olah ia berpuasa setahun penuh. Penjelasannya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Bulan Ramadhan laksana sepuluh bulan. Sementara enam hari bagai dua bulan. Maka hitungannya menjadi setahun penuh. Sehingga dapat diraih pahala ibadah setahun penuh tanpa kesulitan, sebagai kemurahan dari Allah dan kenikmatan bagi para hambaNya.

Dari Tsauban Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ فَشَهْرٌ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَصِيَامُ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ فَذَلِكَ تَمَامُ صِيَامِ السَّنَةِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan, satu bulan seperti sepuluh bulan dan berpuasa enam hari setelah hari Idul Fitri, maka itu merupakan kesempurnaan puasa setahun penuh".

BILAMANA PELAKSANAANNYA?
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, di dalam Majmu' Fatawa wal Maqalat Mutanawwi'ah (15\391) menyatakan, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki dasar dari Rasulullah. Pelaksanaannya, boleh dengan berurutan ataupun terpisah-pisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan pelaksanaannya secara mutlak, dan tidak menyebutkan caranya dilakukan dengan berurutan atau terpisah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun".

Beliau rahimahullah juga berpendapat, seluruh bulan Syawwal merupakan waktu untuk puasa enam hari. Terdapat riwayat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda : Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian melanjutkannya enam hari dari bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun.

Hari pelaksanaannya tidak tertentu dalam bulan Syawwal. Seorang mu`min boleh memilih kapan saja mau melakukannya, (baik) di awal bulan, pertengahan bulan atau di akhir bulan. Jika mau, (boleh) melakukannya secara terpisah atau beriringan. Jadi, perkara ini fleksibel, alhamdulillah. Jika menyegerakan dan melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu afdhal. Sebab menunjukkan bersegera melakukan kebaikan.

Para ulama menganjurkan (istihbab) pelaksanaan puasa enam hari dikerjakan setelah langsung hari 'Idhul Fitri. Tujuannya, sebagai cerminan menyegerakan dalam melaksanakan kebaikan. Ini untuk menunjukkan bukti kecintaan kepada Allah, sebagai bukti tidak ada kebosanan beribadah (berpuasa) pada dirinya, untuk menghindari faktor-faktor yang bisa menghalanginya berpuasa, jika ditunda-tunda.

Syaikh ‘Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menjelaskan : "Dalam hadits ini (yaitu hadits tentang puasa enam hari pada bulan Syawwal), tidak ada nash yang menyebutkan pelaksanaannya secara berurutan ataupun terpisah-pisah. Begitu pula, tidak ada nash yang menyatakan pelaksanaannya langsung setelah hari raya 'Idul Fithri. Berdasarkan hal ini, siapa saja yang melakukan puasa tersebut setelah hari Raya 'Idul Fithri secara langsung atau sebelum akhir Syawal, baik melaksanakan dengan beriringan atau terpisah-pisah, maka diharapkan ia mendapatkan apa yang dijanjikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, itu semua menunjukkan ia telah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Apalagi, terdapat kata sambung berbentuk tsumma, yang menunjukkan arti tarakhi (bisa dengan ditunda)”.

Demikian penjelasan singkat mengenai cara berpuasa enam hari pada bulan Syawwal setelah puasa bulan Ramadhan. Mudah-mudahan dapat memotivasi diri kita, untuk selalu mencintai sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang tidak lain akan mendekatkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bish-shawab.

BAGAIMANA JIKA MASIH MENANGGUNG PUASA RAMADHAN?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah, apakah boleh mendahulukan puasa sunnah (termasuk puasa enam hari di bulan Syawwal) sebelum melakukan puasa qadha Ramadhan.

Imam Abu Hanifah, Imam asy Syafi’i dan Imam Ahmad, berpendapat bolehnya melakukan itu. Mereka mengqiyaskannya dengan shalat thathawu’ sebelum pelaksanaan shalat fardhu.

Adapun pendapat yang masyhur dalam madzhab Ahmad, diharamkannya mengerjakan puasa sunnah dan tidak sah, selama masih mempunyai tanggungan puasa wajib.

Syaikh Bin Baz rahimahullah menetapkan, berdasarkan aturan syari'at (masyru’) mendahulukan puasa qadha Ramadhan terlebih dahulu, ketimbang puasa enam hari dan puasa sunnah lainnya. Hal ini merujuk sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seperti puasa satu tahun".

Barangsiapa mengutamakan puasa enam hari daripada berpuasa qadha, berarti belum mengiringkannya dengan puasa Ramadhan. Ia hanya mengiringkannya dengan sebagian puasa di bulan Ramadhan. Mengqadha puasa hukumnya wajib. Sedangkan puasa enam hari hukumnya sunnah. Perkara yang wajib lebih utama untuk diperhatikan terlebih dahulu.

Pendapat ini pun beliau tegaskan, saat ada seorang wanita yang mengalami nifas pada bulan Ramadhan dan mempunyai tekad yang kuat untuk berpuasa pada bulan Syawwal. Beliau tetap berpendapat, menurut aturan syari'at, hendaknya Anda memulai dengan puasa qadha terlebih dahulu. Sebab, dalam hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan puasa enam hari (Syawwal) usai melakukan puasa Ramadhan. Jadi perkara wajib lebih diutamakan daripada perkara sunnah.

Sementara itu Abu Malik, penulis kitab Shahih Fiqhis Sunnah berpendapat, masih memungkinkan bolehnya melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, meskipun masih memiliki tanggungan puasa Ramadhan. Dasar argumentasi yang digunakan, yaitu kandungan hadits Tsauban di atas yang bersifat mutlak.
Wallahu a’lam.
Posted by Unknown On 08.58 No comments READ FULL POST

Rabu, 28 Agustus 2013

Kesunnahan dan keutamaan Aqiqah adalah pada hari ketujuh kelahiran bayi. Namun demikian menurut Syafii dan Hanbali Aqiqah sah dilaksanakan mulai kelahiran bayi. Kalau bayi belum lahir maka itu sedekah dan bukan Aqiqah. Maliki dan
Hanafi mengatakan Aqiqah yang dilaksanakan sebelum hari ketujuh tidak sah dan menjadi sedekah.

Ketika melewati hari ketujuh dan belum dilakukan Aqiqah, menurut mazhab Syafii tetap disunahkan sampai mencapai umur baligh, yaitu 15 tahun untuk anak laki-laki dan umur haid pertama untuk anak perempuan. Menurut Maliki, jika melewati hari ketujuh maka gugurlah kesunnahan Aqiqah. Menurut Hanbali jika hari ketujuh lewat maka kesunnahan berpindah ke hari ke-14, lalu hari ke-21 dan seterusnya berdasarkan riwayat dari Aisyah ra beliau memerintahkan seperti itu.

Anak yang telah baligh atau dewasa namun belum dilakukan Aqiqaah untuknya, menurut mazhab Syafii tetap disunnahkan Aqiqah. Namun kesunnahan Aqiqah berpindah dari tanggungan orang tua menjadi tanggungan dirinya sendiri. Masalah tersebut dipertentangkan oleh ulama. Ada dua pendapat di sini.

Pertama: barang siapa belum dilakukan Aqiqah untuknya hingga baligh, maka disunnahkan baginya melakukan Aqiqah untuk dirinya sendiri. Pendapat ini diikuti oleh para ulama seperti Atha, Muhammad bin Sirin, Hasan Basri, Qaffal Syasyi
dsari ulama Syafii dan riwayat dari Imam Ahmad.

Pendapat ini menggunakan dalil riwayat Baihaqi dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw melakukan Aqiqah untuk diri sendiri beliau setelah diutus (artinya setelah umur 40 tahun).

Hadist tersebut menjadi perdebatan panjang di antara para ulama hadist. Abdul Razzaq salah seorang ulama hadist mengatakan bahwa gara-gara hadist tersebut rawi Abdullah bin Muharrar ditinggalkan oleh para ulama, namun demikian hadist tersebut juga diriwayatkan dengan sanad lain oleh Qatadah. Ibnu Hajar menyebutkan hadist tersebut dari beberapa riwayat antara lain: riwayat Bazzar disebutkan Abdullah dlaif, Dliya al-Muqaddisi juga disinyalir mensahihkan hadist
yang tidak sahih. Imam Nawawi mengatakan hadist tentang Aqiqah Rasulullah saw untuk diri sendiri, batil. Baihaqi juga mengatakan dlaif.

Namun demikian Albani mencantumkan hadist tersebut dalam kitabnya Silsilah Hadist Sahih no. 2726. Albani mengumpulkan semua riwayat tersebut dan menyimpulkan ada beberapa riwayat Thabari yang cukup cukup dan ini didukung pendapat beberapa ulama melakukan dan menganjurkannya, seperti riwayat dari Imam Ahmad, Muhammad bin Sirin, Hasan al-Basyri dll.

Pendapat ini juga mengatakan, tidak ada larangan melakukan Aqiqah bagi dirinya sendiri setelah dewasa. Aqiqah juga merupakan ibadah yang terkait dengan harta, ini boleh diwakili dan diqadla apabila belum dilakukan.

Pendapat kedua mengatakan tidak sah Aqiqah untuk diri sendiri, ini pendapat Imam Syafii dan riwayat terkuat dari Imam Ahmad. Alasannya tidak ada dalil yang kuat menunjukkan ini. Sekiranya dianjurkan, tentu banyak riwayat dari para sahabat melakukannya.
Posted by Unknown On 09.40 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Kategori

Arsip

About

Twitter Timeline