Sabtu, 28 Februari 2015

Saya memiliki seorang teman yang terbiasa menjadikan istrinya sebagai bahan lelucon. “Bawel banget, lu! Kayak bini gue!” Katanya suatu hari. Di lain kesempatan, dengan bangga dia menghina istrinya sendiri dan menganggapnya sebagai sesuatu yang lucu, katanya, “Gendut-gendut gitu juga bini gue! Gue tidur nggak perlu nyari kasur!”
Ungkapan-ungkapan semacam itu biasa terdengar di keseharian. Para suami, atau mungkin juga istri, dengan enteng menyepelekan pasangan masing-masing di hadapan orang lain. Menyebutnya ‘kampungan’, ‘matre’, ‘letoy’, ‘lemot’ atau sebutan-sebutan lain yang bernada merendahkan. Saya pikir ini bukan tentang selera humor. Ini tentang sebuah cara pandang.
Suatu hari saya pernah menulis sebuah status di Facebook, menceritakan teman saya lainnya yang mengejek selera fashion istrinya sendiri. “Selera istriku payah banget!” Umpatnya. Tak cukup sampai di situ, teman saya masih memperpanjang keluhannya, seolah memberi pembenaran, “Maklum, orang kampung!” Ujarnya.

Apa yang aneh dari peristiwa itu? Tampaknya memang sederhana saja, sebagaimana ia lazim terjadi di keseharian. Tetapi kadang-kadang kita gagal mengambil ‘sudut pandang’ mengapa pernyataan-pernyataan semacam itu tidak seharusnya diucapkan seorang suami untuk istrinya—begitu juga sebaliknya. Tentu saja ini soal cara pandang. Ihwal ‘selera yang buruk’, memberitahu kita sesuatu yang penting: Suami yang menjelekkan selera istrinya lupa bahwa ia juga bagian dari selera sang istri. Begitu juga sebaliknya, istri yang menertawakan selera suaminya sebenarnya sedang menertawakan dirinya sendiri, karena ia juga bagian dari ‘selera suaminya yang buruk’ itu. Masuk akal, kan? 
Sampai di sini, menghargai pasangan adalah juga soal menghargai diri sendiri. Maka memuliakan dan membahagiakan pasangan juga sebenarnya merupakan upaya untuk memantaskan diri menjadi seseorang yang mulia dan bahagia. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 187 memberi amsal menarik soal kedudukan suami di hadapan istrinya serta kedudukan istri di hadapan suaminya, “…Istri-istrimu adalah pakaian bagi kamu sekalian, dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”
Banyak dari kita memahami ‘pakaian’ sebatas penutup tubuh, kain yang membungkus aurat dan melindungi kulit dari panas dan dingin. Tetapi jarang sekali yang melihat ‘pakaian’ suami bagi istrinya, juga sebaliknya, sebagai lambang harga diri dan kemuliaan. Saya ingat suatu ketika Emha Ainun Nadjib pernah menjelaskan pakaian sebagai ‘akhlak’ atau ‘kemuliaan’ manusia yang membedakannya dari binatang. Kata Cak Nun, “Kalau engkau tidak percaya, berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau [akan] kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan sistem nilai.”
Jika istri adalah pakaian suaminya dan suami adalah pakaian istrinya, maka masing-masing mereka adalah lambang kemuliaan bagi yang lainnya. Akhlak suami tercermin dari kualitas individu seorang istri dan kemuliaan seorang istri tercermin dari perilaku, kata-kata, dan integritas suaminya. Pada titik ini, kita jadi paham, kan, mengapa istri perlu berbakti pada suami dan suami perlu memuliakan istrinya? Sebab suami yang merendahkan istrinya adalah laki-laki yang mengoyak-ngoyak pakaiannya sendiri… dan istri yang tak setia dan tak berbakti pada suaminya adalah perempuan yang menelanjangi kemuliaan sekaligus harga dirinya sendiri.
Kembali pada kasus teman saya. Lantas, apakah mengolok-olok istri di hadapan orang lain adalah perkara sepele dan urusan ‘selera humor’ belaka? Seorang laki-laki yang merobek-robek pakaiannya sendiri di depan umum, membiarkan dirinya telanjang dan kehilangan harga diri, hanya patut dikasihani!
Jadi, ini memang soal cara pandang. Sungguh aneh jika para suami ingin dipandang terhormat di hadapan teman-teman dan koleganya, tetapi tak pernah merawat dan menghias ‘pakaian’-nya. Betapa mengherankan jika para istri ingin tampil cantik dihadapan siapa saja, tetapi pada saat bersamaan tidak memedulikan ‘pakaian’ mereka sendiri.
Akhirnya, sangat masuk akal jika di bagian lain Al-Quran mengatakan bahwa laki-laki yang baik diperuntukkan untuk perempuan yang baik dan perempuan terbaik hanya dipersiapkan untuk laki-laki terbaik. Mereka akan saling merawat ‘pakaian’ masing-masing dengan berakhlak baik pada satu sama lainnya. Selayaknya pakaian yang menunjukkan kemuliaan, ia bukan sekadar melekat pada kulit, tetapi melindungi dari cuaca buruk, menutupi aib pada tubuh, menghiasi diri di hadapan tatap mata dunia.
Barangkali inilah saatnya memuliakan pasangan kita, seperti diri yang setiap hari bersolek menjelang pesta… mengenakan pakaian terbaik yang kita punya, berjalan dengan hati-hati menghindari apapun saja yang bisa mengotorinya, menjaganya, merawatnya, membanggakannya. Mulailah dari yang paling sederhana, tersenyumlah pada istri atau suami Anda, sekarang atau sebentar lagi… tatap mereka dengan rasa bangga, sesekali puji mereka. Jika mereka sedang tak di dekat Anda, ambil kamera dan berfotolah. Di antara hal-hal istimewa dalam rumah tangga adalah saat seorang istri tersenyum tulus di hadapan suaminya.

Selamat mengenakan pakaian kemuliaan Anda masing-masing.
Posted by Unknown On 14.31 No comments READ FULL POST

Jumat, 20 Februari 2015


Tombo ati iku limo perkarane
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe

Salah sawijine sopo bisa ngelakoni
Mugi-mugi gusti Allah nyembadani

Obat hati ada lima perkaranya
Yang pertama baca Quran dan maknanya
Yang kedua sholat malam dirikanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang sholeh
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima dzikir malam perbanyaklah

Salahsatunya siapa bisa menjalani
Semoga Allah mengabulkannya

SYAIR “Tombo Ati” alias obat hati yang berjumlah lima amalan ibadah adalah syair berbahasa Jawa yang populer secara turun-temurun. Syair yang berisi nasihat ini semakin booming setelah masuk ke dunia rekaman yang dilantunkan seniman Muslim Emha Ainun Najib dan dilanjutkan oleh penyanyi Opick dengan versi bahasa Indonesianya.
Ada pihak yang menyebutkan bahwa syair Tombo Ati ini berasal dari Sunan Bonang salah satu ulama shalih penyebar Islam di tanah Jawa, di mana beliau menggunakan syair itu dalam sebagai media dakwah.
Meski demikian, apakah bisa dikatakan bahwa otomatis beliau perumus Tombo Ati? Bisa jadi, namun kemungkinan hal itu kecil, karena Wali Songo adalah ulama yang dikenal menganut metode sanad dalam ajarannya hingga kemungkinan besar ajaran yang disampaikan merujuk kepada ulama sebelumnya.
Jika seandainya bukan Sunan Bonang, lalu siapa ulama sebelum beliau yang merumuskannya?
Pertanyaan itu terjawab oleh kitab Shifat Ash Shafwah karya Ibnu Al Jauzi (597 H) ulama besar madzhab Hanbali, di mana saat beliau menulis biografi Yahya Bin Muadz Ar Razi ulama yang wafat di Naishabur tahun 258 H, beliau menuliskan bahwa Yahya menyampaikan 5 obat hati (lihat, Shifat Ash Shafwah, 4/92).
Dalam kitab itu Yahya bin Muadz menyatakan, ”dawa’ al qalb khomsah asya’” (obat hati ada 5 perkara), yang dalam bahasa Jawa, ”tombo ati iku limo perkarane” (obat hati ada 5 perkara).
Dari lima perkara itu Yahya bin Muadz merinci, ”qira’ah Al Qur’an bi at tafakkur” (membaca Al Qur’an dengan perenungan), yang dalam bahasa Jawa, ”moco Quran angen-angen sakmaknane”.
Yang kedua adalah “khala’ al bathn” (kosongkan perut atau berpuasa), yang dalam bahasa jawa, ”weteng siro kudu luwe”.
Obat hati selanjutnya adalah, ”qiyam al lail” kalau dijawakan menjadi, ”sholat wengi lakonono”.
Selanjutnya adalah, ”tadzarru’ indza as sahr” (merendahkan diri saat waktu sahur) kalau dalam versi Jawa, ”dzikir wengi ingkang suwe”.
Sedangkan obat hati yang terakhir yang disebut Yahya bin Mu’adz adalah, ”mujalasah as shalihin” (bermajelis dengan orang-orang shalih) yang dalam versi Jawanya, ”wong kang sholeh kumpulono.”
Jika demikian, maka hal ini merupakan salah satu indikator bahwa ajaran Walisongo bersumber kepada ulama terdahulu, tinggal generasi Islam saat ini, tidak hanya bisa manghafal, namun juga dituntut untuk mengamalkan 5 perkara yang amat dianjurkan itu, hingga hati menjadi tenang.*

Bejo temen wong kang urip biso ngaji
Rino wengi tansah iling kang moho suci
Sing akhire biso mulyo biso mukti
Akhirote oleh surgo widodari

Lan mulane wong iku den ati-ati
Mumpung isih lawang tobat iku mengo
Lamun den tutup badan susah awak iro
Eman temen wong kang sugih ora gelem sembahyang
Posted by Unknown On 14.53 No comments READ FULL POST

Sabtu, 14 Februari 2015


Kata “amanah” adalah suatu kata yang besar dalam Islam. Bila dilihat berdasarkan syariat, amanah ini pengertiannya sangat luas dan mendalam. Mulai dari “menyimpan rahasia” hingga “menjalankah sesuatu yang menjadi perjanjian atau tugas”.
Amanah adalah akhlak dari para Nabi dan Rasul. Mereka adalah orang-orang yang paling baik dalam menjaga amanah. Tidak heran bila Rasulullah dikenal sebagi orang yang paling terpercaya, terutama dalam menjalankan amanah.
Ada empat elemen penting dalam konsep amanah, yaitu:
1.    Menjaga hak Allah SWT
2.    Menjaga hak sesama manusia
3.    Menjauhkan dari sifat abai dan berlebihan, artinya amanah memang harus disampaikan dalam kondisi tepat, tidak ditambahi atau dikurangi
4.    Mengandung sebuah pertanggungjawaban
Perlu dicatat, amanah sangat berkaitan dengan akhlak yang lain, seperti kejujuran, kesabaran, atau keberanian. Karena untuk menjalankan amanah, perlu keberanian yang tegas. Amanah sebagai salah satu unsur dalam Islam, membuktikan bawah salah satu fungsi agama adalah memberikan nilai pada kehidupan. Apalagi, amanah dititipkan pada hal-hal kecil, bukan hanya hal-hal besar saja.
Islam mengajarkan bahwa tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah dan tak ada agama bagi orang yang tak berjanji. Ini berarti amanah adalah bagian dari iman. Sehingga mereka yang tidak menjaga amanah, termasuk pada golongan orang-orang yang tidak beriman. Selain itu, agama juga mengajarkan kita untuk berjanji dan menepatinya karena itu bagian dari kehidupan.
Berbicara tentang amanah juga merujuk pada golongan manusia yang termasuk para pemimpin.
Sesungguhnya semua pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa dan siapa yang ia pimpin. Seorang penanam bunga akan dimintai pertanggung jawaban atas bunga-bunga yang ia pelihara, seorang pengembala akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang ia gembalakan, seorang ayah akan dimintai pertanggung jawaban atas anak-anak dan istri-istri mereka, seorang guru dan kepala sekolah akan dimintai pertanggung jawaban atas segenap peserta didiknya, demikian pula dengan RT, Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, dan Presiden/Raja yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat/masyarakat yang mereka pimpin.
Pangkat, harkat dan derajat adalah titipan ilahi. Jabatan itu adalah amanah yang harus dilaksanakan dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Jangan mentang-mentang memiliki jabatan yang tinggi kemudian kita berbuat semena-mena. Jabatan yang diemban oleh setiap pejabat merupakan amanah dari Allah Yang Maha Adil dan Bijaksana. Hal ini tercantum dalam Alquran surat Al Anfaal ayat 27:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Dari ayat di atas, kita bisa lihat bahwa Allah benar-benar dengan tegas melarang sifat khianat. Rasulullah pun dengan tegas mendidik orang untuk menjalankan amanah, bahkan sedari kecil.
Dalam hal ini, kita bisa lihat, bahwa menjaga amanah itu sangat penting dan memiliki konsekuensi yang besar untuk orang-orang yang mengabaikan amanah. Begitu besarnya, hingga bumi, langit, dan gunung pun takut melanggarnya. Hal ini tercantum dalam Alquran :
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat jahil, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyirikin laki-laki dan perempuan; sehingga Allah menerima taubat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 72-73)
Ibnu Abbas menjelaskan pengertian amanah dalam ayat ini, “Amanah adalah kewajiban-kewajiban, Allah tawarkan kepada langit, bumi, dan gunung. Apabila mereka menunaikannya, maka mereka mendapatkan pahala dan bila menyia-nyiakannya, maka mereka diberi siksa, lalu mereka menolaknya. Penolakan tersebut bukan karena tidak taat kepada Allah, namun karena mengagungkan agama Allah.
Kita harus menyadari bahwa amanah tersebut adalah beban syariat yang mencakupi hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya. Siapa yang menunaikannya, maka dia mendapatkan pahala dan barang siapa yang menyia-nyiakannya, maka dia mendapatkan siksa dan adzab.
Maka dari itu marilah Kita senantiasa menunaikan atau menjalankan amanah yang diberikan kepada Kita agar kelak kita mampu selamat dunia dan akhirat.
Dan semoga kita senantiasa menjadi seseorang yang dapat menjaga amanah, senantiasa mendapatkan perlindungan dari Allah swt dan dijauhkan dari panasnya Api Neraka.


Posted by Unknown On 10.24 1 comment READ FULL POST

Kamis, 12 Februari 2015



Teringat ketika kita masih kecil, maka orang tua kita sering mendoakan kita menjadi orang yang pandai atau pintar. Memang kepandaian merupakan satu hal yang menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Tapi apakah kepandaian itu? Mungkin dari kita ada yang menghitung berdasarkan IQ. Tapi kasihan juga orang yang ditakdirkan dilahirkan dengan IQ yang rendah, mereka tidak akan pernah menjadi orang pintar. Bahkan kepintaran dijadikan iklan obat anti masuk angin.
Yang menarik dalam Islam, kepandaian itu dapat diraih oleh setiap orang, walaupun IQ nya tidak tinggi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:

اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
“Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.” (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)

Jadi ada dua parameter orang yang pandai yaitu orang yang sering bermuhasabah dan melakukan amal untuk persiapan setelah meninggal.
Muhasabah
Muhasabah dari kata hisab yang berarti perhitungan atau melakukan evaluasi. Kesibukan aktifitas kita terkadang melupakan kita untuk mengevaluasi sejauh mana progres aktifitas dan menilik hal apa yang kurang dan perlu diperbaiki. Padahal evaluasi itu perlu dilakukan, agar kita bisa bernafas dan menata ulang kehidupan kita.
Al Quran menyuruh kita untuk muhasabah [QS. Al-Hasyr 18]:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Sahabat Umar r.a. berkata: ”Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.”
Pernyataan sahabat Umar r.a. diatas bermakna bahwa semakin sering kita melakukan muhasabah maka semakin lebih sering memperbaiki diri dan semakin ringan hisab di yaumil akhir. Oleh karena itu, muhasabah bisa dilakukan tiap hari, pekanan, bulanan atau tahunan.
Muhasabah tidak hanya bermanfaat untuk akhirat tapi juga untuk kehidupan dunia. Bill Gates, seorang milyuner, selalu menyempatkan untuk beristirahat seminggu atau “think week” dalam enam bulan sekali dari kepenatan di perusahaannya, Microsoft. Dia akan beristirahat disuatu tempat yang sunyi dan membaca buku sekitar 18 jam sehari. Dari kesempatan untuk berkontemplasi tersebut, muncul ide-ide segar dalam pengembangan software.
Beramal untuk Bekal
Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaituaction after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Orang yang pandai bukan hanya bisa bekerja atau mengumpulkan harta, tetapi orang yang juga beramal sholeh untuk hari kemudian. Orang tersebut akan sibuk beraktifitas dan juga berinfaq atau membantu sesama agar mendapatkan pahala di hari akhir. Dalam surat Al Qashash 77, Allah SWT berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.”

Bahkan dalam ayat ini disebutkan keutamaan terhadap bekal di dunia, dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Beginilah pola hidup yang patut ditiru sehingga terjadi keseimbangan dalam kehidupan kita agar kebahagiaan di dunia dan akhirat bisa diraih.

Secara ringkas, kepandaian yang hakiki dapat dicapai oleh setiap orang. Kepandaian itu dapat digapai dengan melakukan muhasabah secara berkala dan beramal untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Semoga kita mendapatkan petunjuk dari Allah SWT untuk menjadi seorang muslim yang pandai.
Posted by Unknown On 09.53 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube

Kategori

Arsip

About

Twitter Timeline